Notifikasi
General
Billboard Ads

Pemilu 2024: Golput Tanda Terpelajar atau Ekspresi Ketidakpuasan?

 


Jakarta, Represif.com - Fenomena pemilih golput di Indonesia telah menjadi sorotan, dengan pengamat politik Nicky Fahrizal menyatakan bahwa pemilih golput cenderung berasal dari kalangan yang sangat teredukasi secara politik. Menurutnya, pemilih golput ini memiliki pemahaman mendalam tentang peta politik dan jejak para pasangan calon, yang membuat mereka cenderung tidak memilih karena berbagai isu, seperti oligarki politik.

Oligarki politik, yang sering diangkat dalam debat capres-cawapres, merujuk pada sistem politik yang memberikan kontrol pengambilan keputusan penting kepada kelompok elit penguasa yang bertujuan untuk melindungi kepentingan mereka. Fahrizal menekankan bahwa golput menjadi pilihan bagi orang-orang yang teredukasi politik ini karena mereka merespons isu-isu yang dianggap krusial, seperti oligarki, yang mungkin membuat mereka ragu untuk memberikan suara.

Devi Darmawan, pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), juga memberikan pandangan terkait golput. Menurutnya, orang-orang yang memilih untuk tidak memilih atau golput pada pemilu sebelumnya adalah individu yang memiliki ideologi sendiri. Meskipun mereka memilih golput, mereka tetap datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan merusak surat suara sebagai bentuk protes. Darmawan menegaskan bahwa golput bukanlah tindakan orang malas ke TPS, tetapi lebih sebagai ekspresi kebingungan dalam memilih calon yang dianggap tidak memiliki figur baru yang sesuai dengan ideologi mereka.

Golput, dalam pandangan Darmawan, dapat dianggap sebagai bentuk ekspresi atau model penghukuman terhadap penyelenggaraan institusi pemilu. Oleh karena itu, ia mengingatkan bahwa publik harus menghormati keputusan mereka yang memilih golput, karena itu adalah wujud sikap dan ekspresi yang harus dihormati dalam demokrasi.

Darmawan juga menyampaikan bahwa jika jumlah golput pada Pilpres nanti setara dengan perolehan suara peringkat ketiga capres-cawapres, hal tersebut dapat diartikan sebagai tanda bahwa masyarakat sudah jenuh atau muak terhadap penyelenggaraan pemilu. Dampaknya dapat merugikan legitimasi pemilu karena kurangnya dukungan yang signifikan dari masyarakat terhadap calon yang ada dalam bursa capres-cawapres.

Penting untuk diingat bahwa golput, walaupun bisa mencerminkan ketidakpuasan dan kebingungan masyarakat terhadap sistem politik, juga dapat mempengaruhi stabilitas dan legitimasi demokrasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memahami penyebab di balik golput dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu untuk menjaga kepercayaan masyarakat dalam proses demokrasi.

Posting Komentar
Billboard Ads
Billboard Ads
Billboard Ads
Kembali ke atas