Notifikasi
General
Billboard Ads

Dinamika Kepemimpinan Jokowi dan Sorotan Nuansa 'Anti-Demokratik

 


Jakarta, Represif.com - Pemerintahan Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, mendapat sorotan tajam atas dugaan nuansa kepemimpinan yang dianggap "anti-demokratik". Analisis oleh para ahli politik dan lembaga pemantau demokrasi menyoroti penurunan iklim demokrasi selama masa pemerintahan kedua Jokowi, menciptakan polemik yang mendalam dalam dinamika politik Indonesia.

Penilaian terhadap pemerintahan Jokowi tidak lagi hanya berkutat pada keberhasilan infrastruktur dan pencitraan yang cemerlang. Sorotan terhadap kebijakan dan praktik politiknya yang dianggap "anti-demokratik" semakin menjadi perbincangan hangat di kalangan pengamat politik.

Menurut para ahli politik seperti Firman Noor, pemerintahan Jokowi tidak terbukti lebih demokratis dibanding pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahkan cenderung menunjukkan penurunan dalam indeks demokrasi. Lembaga pemantau demokrasi seperti Freedom House, The Economist Intelligence Unit, dan V-Dem juga mencatat adanya penurunan dalam iklim demokrasi Indonesia selama masa pemerintahan kedua Jokowi.

Salah satu kritik utama adalah kurangnya pluralitas politik dan minimnya oposisi yang signifikan terhadap pemerintahan Jokowi. Meskipun berjanji untuk membangun inklusivitas politik, Jokowi justru memilih untuk merangkul oposisi politiknya, bahkan menempatkan lawan politiknya dalam kabinetnya.

Namun, keputusan tersebut berdampak pada proses pembuatan kebijakan yang cenderung tanpa tantangan, terlepas dari penolakan publik yang luas terhadap beberapa kebijakan kontroversial. Penyusunan undang-undang seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja disahkan tanpa partisipasi publik yang memadai.

Selain itu, kebebasan berekspresi juga terancam dengan maraknya taktik represif, termasuk penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk menekan kritik terhadap pemerintah. Serangan fisik dan digital terhadap pembela HAM, aktivis, dan jurnalis meningkat secara signifikan.

Tidak hanya itu, penanganan pemerintah terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu juga mendapat kritik tajam. Meskipun mengakui beberapa kasus, pemerintahan Jokowi lebih memilih penyelesaian non-yudisial, yang dianggap tidak memberikan keadilan yang memadai bagi korban dan keluarganya.

Kritikus menyoroti bahwa keputusan ini menandai kemerosotan dalam prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan berekspresi, dan perlindungan hak asasi manusia selama masa kepemimpinan Jokowi yang kedua. Penilaian atas kebijakan dan praktik politiknya yang dianggap "anti-demokratik" menimbulkan pertanyaan serius tentang arah demokrasi Indonesia ke depan.

Sorotan terhadap nuansa "anti-demokratik" dalam kepemimpinan Jokowi menciptakan ketegangan dalam politik Indonesia. Dengan semakin meningkatnya kritik dan keprihatinan dari berbagai pihak, masalah ini menjadi titik fokus yang perlu ditangani dengan serius. Bagaimanapun juga, diskusi terbuka dan pertukaran pandangan yang inklusif akan menjadi kunci untuk merumuskan jalan keluar yang konstruktif dalam memperbaiki iklim demokrasi negara ini.

Posting Komentar
Billboard Ads
Billboard Ads
Billboard Ads
Kembali ke atas