Billboard Ads

Kekerasan Aparat di Papua, Tunggal Hingga Normalisasi Kekerasan

 


Kasus penyiksaan yang baru-baru ini ramai dibicarakan di Puncak, Papua, membuka diskusi yang lebih luas tentang pola kekerasan yang telah lama menghantui wilayah ini. Analisis oleh pakar konflik dan hukum humaniter dari STF Driyarkara, Budi Hernawan, mengungkapkan bahwa kasus-kasus kekerasan di Papua tidak dapat dianggap sebagai insiden tunggal, tetapi merupakan bagian dari pola yang terus berulang dengan tujuan yang disengaja.

Budi Hernawan menyoroti bahwa kekerasan aparat di Papua memiliki tujuan yang berbeda dengan kekerasan yang terjadi di tempat lain. Daripada bertujuan untuk mendapatkan pengakuan pelaku, kekerasan di Papua tampaknya dimaksudkan untuk menegaskan kekuasaan aparat atas wilayah tersebut. Hal ini tercermin dari pola kekerasan yang berlangsung selama puluhan tahun dan terus menerus muncul akibat pembiaran terhadap banyak kasus sebelumnya.

Dalam penelitiannya, Budi mencatat bahwa lebih dari 400 kasus kekerasan aparat terhadap orang Papua yang dia kaji menunjukkan bahwa kekerasan tersebut terjadi tidak hanya di ruang publik, tetapi juga di kantor polisi dan pos militer. Mayoritas pelaku kekerasan adalah tentara dan polisi, dengan sebagian besar dari mereka menyatakan bahwa mereka hanya melakukan perintah. Kekerasan tersebut bahkan menjadi kebiasaan dalam institusi mereka.

Salah satu masalah serius yang disoroti adalah ketidakmampuan aparat untuk membedakan antara milisi dan warga sipil. Kekeliruan ini sering kali berujung pada penyiksaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Pangdam Cenderawasih Mayjen Izak menyatakan bahwa tentara sulit membedakan mereka karena "mukanya hampir sama", namun Budi Hernawan menegaskan bahwa hal ini adalah kesalahan fatal dan menunjukkan kegagalan mendasar dalam penegakan hukum di Papua.

Analisis oleh Budi Hernawan memberikan gambaran yang mendalam tentang pola kekerasan yang terjadi di Papua, yang tidak bisa dianggap sebagai insiden tunggal tetapi merupakan bagian dari tata kelola yang disengaja. Masalah ketidakmampuan untuk membedakan antara milisi dan warga sipil menyoroti kebutuhan akan reformasi dalam sistem penegakan hukum dan keamanan di wilayah konflik ini. Dengan adanya laporan-laporan seperti ini, penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil langkah-langkah yang tegas untuk mencegah kekerasan yang lebih lanjut dan memastikan pertanggungjawaban bagi pelaku.

Read Also
Share
Like this article? Invite your friends to read :D