Billboard Ads

Pengadilan Militer Dikritik, Vonis Ringan Kasus HAM Anggota TNI

 


Pengadilan Militer di Indonesia kembali mendapat sorotan tajam setelah mengeluarkan vonis yang dianggap terlalu ringan terhadap anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terlibat dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dalam dua kasus terpisah yang terjadi di Papua, vonis hukuman terhadap para pelaku tidak mencerminkan keseriusan dalam penegakan hukum.

Pada Februari 2023, lima personel TNI AD divonis bersalah dalam kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil di Nduga. Mayor Helmanto Fransiskus Dahki, Pratu Rahmat Amin Sese, dan Pratu Rizky Oktaf Muliawan dijatuhi vonis penjara seumur hidup, sementara Pratu Robertus Clinsman dan Praka Pargo Rumbouw masing-masing divonis 20 tahun dan 15 tahun penjara. Meskipun demikian, keputusan tersebut dianggap tidak memadai oleh beberapa pihak, terutama mengingat seriusnya tindakan yang dilakukan.

Kasus serupa juga terjadi pada Maret 2023, ketika tujuh tentara dari Yonif 443 Julu Siri divonis bersalah oleh Pengadilan Militer Makassar atas penyiksaan, pembunuhan, dan pembakaran jenazah dua warga sipil di Intan Jaya. Namun, hukuman yang dijatuhkan jauh dari harapan, dengan hukuman penjara hanya beberapa bulan bagi para pelaku. Kritik terhadap vonis ini datang dari berbagai pihak, termasuk Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), yang menilai bahwa keputusan tersebut hanya menciptakan praktik impunitas yang berkelanjutan.

Kontras menyoroti bahwa vonis yang terlalu ringan tidak hanya gagal memberikan keadilan kepada korban dan keluarganya, tetapi juga tidak mendorong akuntabilitas di dalam tubuh TNI. Pemberian hukuman yang lebih berat dan tindakan tegas terhadap pelanggar HAM di dalam militer menjadi hal yang mendesak untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.

Kritik juga ditujukan pada keputusan untuk tidak memberhentikan para pelaku dari keanggotaan mereka sebagai personel TNI. Hal ini menunjukkan bahwa sistem peradilan militer masih memiliki kelemahan dalam menjatuhkan hukuman yang sepadan dengan tindakan yang dilakukan oleh anggota militer.

Dalam konteks kasus lain yang terjadi di Papua, seperti pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya, vonis yang dijatuhkan terhadap tiga tentara hanya sebesar satu tahun penjara setelah tingkat banding. Keputusan ini juga menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk Kontras, yang menyatakan bahwa hal ini hanya memperkuat kesan bahwa peradilan militer telah gagal memberikan keadilan kepada korban pelanggaran HAM.

Dengan sorotan yang semakin tajam terhadap keputusan peradilan militer, menjadi jelas bahwa reformasi dalam sistem peradilan militer diperlukan untuk memastikan bahwa anggota TNI yang melanggar HAM dihukum secara adil dan sesuai dengan kejahatan yang mereka lakukan. Langkah-langkah konkret untuk meningkatkan akuntabilitas dan penegakan hukum di dalam tubuh militer harus segera diambil untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.

Read Also
Share
Like this article? Invite your friends to read :D